Sunday, April 4, 2010

Satu

PAGI

Geo memandangi deretan huruf yang bergerak di layar bioskop tak bergeming. Menghayati tiap kata yang berpendar. Sedangkan aku hanya bisa memandangi wajah orientalnya yang telah mempesonaku dua tahun terakhir ini dalam diam. Mengaguminya tanpa henti.

Lampu studio 3 telah dinyalakan, orang-orang telah keluar, hanya tersisa kami dan sepasang kekasih yang sedang berciuman di kursi belakang. Petugas cleaning service masuk dan mulai memunguti sampah-sampah yang terserak di kursi-kursi penonton, sepasang kekasih tadi pun mulai beranjak dari duduknya dan melangkah ke pintu keluar sambil bergandengan tangan. Akan tetapi, kami tetap duduk tenang, membaca nama-nama yang telah menyumbangkan karyanya dalam film yang baru saja kami tonton. Atau mungkinn lebih tepatnya, Geo membaca nama-nama mereka, sedangkan aku menatap kosong ke layar di depan kami, berpura-pura ikut membaca dan menemukan kepuasan yang sama dengan yang Geo temukan tiap kali membaca credit title.

Akhirnya ritual kami, yah sebenarnya ritual yang biasa Geo lakukan dan mau tidak mau harus kuikuti saat nonton di bioskop, selesai. Geo menoleh padaku, melempar senyum sambil menaikkan sebelah alisnya dan berkata, “Udah? Pulang, yuk!”. Aku mengangguk, berjalan mengikutinya menuruni tangga. Tidak ada pegangan tangan. Selama sepuluh bulan dan tiga belas hari kami berpacaran, tak pernah sekali pun kami berpegangan tangan, bahkan saat menyebrang jalan pun dia tak pernah menggenggam tanganku. Kami memang bukan pasangan yang romantis. Bukan berarti aku tidak pernah ingin, tapi begitulah Geo dan aku tidak mau memaksanya. Kalau dia memegang tanganku, itu haruslah karena dia memang ingin memegangnya dan memastikan aku tidak akan pernah lepas darinya, bukan karena aku memintanya memegang tanganku.

Entah apakah Geo benar-benar mencintaiku atau tidak, aku sudah berhenti bertanya-tanya karena setiap aku mulai mempertanyakannya, aku sendiri yang merasakan perih. Lebih baik aku tetap diam dan menjalani semua ini apa adanya, dengan asumsi bahwa Geo memang menginginkanku menjadi kekasihnya. Benar-benar menginginkanku.

--o|o—

Aku dan teman-temanku keluar dari bioskop sambil tertawa-tawa, kami baru saja menonton Kungfu Panda dan kelucuannya masih terbayang di pikiran kami. Sampai ketika aku menyadari bahwa tanganku tak lagi dihiasi gelang pemberian almarhum ayahku.

“Eh, bentar! Bentar! Ada yang liat gelang pemberian bokap gue ngga?” aku mulai panik, mencari-cari ke dalam tas.

“Lho? Bukannya tadi waktu masuk studio masih lo pake Gi?” Elia malah balik bertanya padaku.

Aku pun berlari kembali ke dalam bioskop, berharap semoga gelang itu masih tergeletak di sana dan tidak ada orang yang mengambilnya.

Studio telah sepi, hanya ada cleaning service yang sedang menyapu karpet. Aku menyusuri kembali jalan yang tadi aku lalui, mengingat-ingat, memeriksa di bawah kursi-kursi.

“Lagi nyari apa?” sebuah suara asing menyapaku.

“Gelang gue. Kayaknya sih jatuh di sini.”, jawabku sambil lalu, masih sambil memeriksa kolong kursi.

Orang itu tidak bertanya-tanya lagi. Kukira dia telah pergi, tapi ternyata dia malah membantuku mencari di sela-sela kursi.

“Nah, ini yang lo cari-cari?” ujarnya girang sambil menunjukkan sebuah gelang di tangannya, gelangku.

Aku menatap gelang itu dengan berbinar-binar lalu melonjak-lonjak gembira, “Iya, thanks banget ya!”. Dan aku baru menyadari bahwa cowok di depanku ternyata lumayan cakep.

Petugas cleaning service mendekati kami dan bertanya, “Maaf, Mbak, Mas, lagi nyari apa ya?”

“Oh, udah ketemu kok pak. Makasih ya!” aku tersenyum pada petugas cleaning service itu.

Petugas itu pun meninggalkan kami. Kami berjalan menuju pintu keluar.

“Oh, iya. Nama gue Pagi, lo siapa?”, aku berusaha memulai pembicaraan.

“Geo.”

“Ooo. Nama yang unik.”, aku mengangguk-ngangguk.

“Namamu juga ga kalah uniknya,” dia tertawa ringan. Memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih. Dengan resmi, aku terpesona.

“Tadi lo ketiduran ya?” tanyaku penasaran.

Dia mengerutkan kening dan menggeleng, “Engga kok. Emangnya kenapa?”

“Habisnya tadi filmnya udah selesai lo belum keluar. Terus ngapain aja di dalem?”

“Ow, engga kok. Aku emang kayak gitu. Selalu nonton benar-benar sampai akhir. Sampai credit titlenya habis.”

Giliranku yang mengerutkan kening, “Buat apa? Kurang kerjaan banget.”

Dia tertawa, “Bukan kurang kerjaan, hanya berusaha menghargai orang-orang yang udah berusaha keras membuat film itu.”

--o|o--

“Besok aku jadi ke Bandung,” aku memberitahu Geo ketika telah sampai di depan rumahku.

“Maaf, aku ga bisa nemenin. Kamu ga papa kan ke Bandung sendiri?” Geo menatapku dengan pandangan bersalah.

“Iya, udah biasa kok.”

“Hati-hati di jalan ya! Kalau ada apa-apa telpon aku!”

Aku tersenyum. Mengangguk.

“Udah. Sana masuk! Aku pulang dulu ya.”

Aku terpaku di ambang pintu.

“Heh? Apalagi? Udah sana masuk!” suruhnya.

“Ya udah, kalau mau pulang, pulang aja sana! Aku masih mau di sini.”

Susah memang membuat Geo mengerti bahwa aku masih ingin bersamanya, menghabiskan waktu dengannya, bicara dengannya. Selain tidak romantis, dia adalah orang yang sangat tidak peka. Jika aku ingin ngobrol dengannya lebih lama, maka aku harus mengatakan jelas-jelas bahwa aku masih ingin ngobrol dengannya. Dia tidak mengenal yang namanya kiasan, isyarat, dan yang semacamnya.

Bahkan kami jadian pun dikarenakan keagresifanku. Waktu itu aku menanyakan padanya, meminta kepastian darinya apakah dia hanya ingin menjadikanku sebagai temannya atau berniat menjadikanku pacar. Dan akhirnya dia pun mengakui bahwa dia menyukaiku, hanya saja selama ini tak punya cukup keberanian menyatakannya. Geo benar-benar orang yang pasif. Dia memang sangat pendiam dan cenderung pemalu. Tapi aku sangat menyukainya, mengaguminya.

“Udah malem, lho. Masuk sana! Ngapain juga malam-malam gini sendirian di luar?” tanyanya.

Aku membanting pintu. Aku memang sangat menyukai Geo, tapi bukan berarti aku tidak pernah sebal padanya. Kadang-kadang dia bisa menjadi sangat menyebalkan. Tapi entah kenapa, aku tidak pernah bisa meninggalkannya. Aku selalu memaafkannya. Selalu ada alasan untuk memaafkannya.